Just About Mymind

Karya Dalam Perjalanan

Dikotomi berhasil dan tidak berhasil dalam UN 2010

2 Komentar

Akhirnya saya terpancing juga untuk menulis terkait segala bisik – bisik teman sejawat guru, pemangku kepentingan maupun pimpinan sekolah terkait UN yang akan dihadapi anak – anak besok pagi.

Semua pembicaraan didominasi oleh tuntutan atau kata yang lebih halusnya adalah harapan. Bahwa anak – anak angkatan pertama SMA ini harus lulus 100%.

Jarang sekali yang khawatir atau berbisik penuh selidik sebarapa berat proses memenuhi harapan itu. Bagaimana keadaan psikologis guru ditengah himpitan tuntutan dan kendala kompensasinya. Tapi ah, itu terlalu riskan untuk dibahas dalam tulisan ini, potensi negative dalam benak pembaca bisa beragam. Jadi saya harap tulisan ini tidak ditebak kearah itu.

Seratus persen adalah ukuran maksimal sebuah himpunan semesta yang artinya semua. Eh, maaf kalau saya menggunakan istilah matematika. Selama ini kita kadang membuat dikotomi yang kurang adil dirasakan oleh sekolah. Bahwa tidak lulus 100% artinya sekolah gagal.

Padahal negasi ( baca: kebalikan) dari semua lulus bukanlah tidak semua lulus. Melainkan yang lebih tepat adalah ada yang tidak lulus. Nah, jika ternyata tidak semua lulus mestinya kita jangan ”malas” dalam berlogika dengan mengatakan sekolah gagal. Tetapi masih ada tahapan berpikir bahwa ada yang tidak lulus. Nah baru kita bertanya, ada berapa yang tidak lulus?. Begitu ada informasi persentase yang tidak lulus, baru dipersilahkan menggunakan parameter masing – masing dalam menilai keberhasilan sekolah.

Akan repot jika ukuran berhasil adalah 100% lulus. Sebab itu ukuran sempurnanya sebuah evaluasi. Sebab hasil yang sempurna dari sebuah evaluasi mesti didukung fasilitas-paling tidak standar oleh para pemangku kepentingan, jika keberatan dengan fasilitas sempurna dan seterusnya dan seterusnya. Lagi – lagi saya tidak ingin terpancing pembahasan ini. Sebab ini juga kategori riskan untuk ditanggapi pembaca yang tidak sepaham.

Kembali pada topik semua lulus dan ada yang tidak lulus tadi. Semua sepakat bahwa sekolah adalah media fasilitator pembelajaran siswa. Tempat dimana siswa mengaktualisasikan diri dan potensinya dalam belajar dengan standar – standar pencapaian belajar yang ditetapkan sekolah. Istilah akademisnya adalah ditetapkannya Kriteria Ketuntasan Minimal ( KKM ) yang disahkan sekolah di awal tahun.

Jika peserta didik selalu tuntas belajarnya di sekolah pada setiap mata pelajaran di akhir evaluasi pembelajaran tetapi masih tidak lulus UN, nah secara logika akademis wajar validitas sistem pembelajaran sekolah dipertanyakan. Sayangnya, siapa sih yang mencoba memahami logika ini kecuali ya pihak sekolah sendiri ??.

Pihak sekolahpun kadang menjadikan pencapaian KKM sebagai delik administratif kurikulum semata. Jika guru terlalu idealis dengan KKM obyektif, ujung – ujungnya yang disudutkan guru. Orang tidak obyektif melihat semua komponen pembelajaran. Dari mulai profesionalisme guru, standar pembiayaan, fasilitas pembelajaran maupun standar proses belajar siswa sendiri.

Sorotan moral terhadap kejujuran pelaksanaan UN di berbagai daerah oleh pejabat – pejabat negeri ini, meski sedikit mempersempit ruang gerak kecurangan, tapi sebagai pelaksana lapangan saya menjadi sedikit mengerti seberapa mujarab sorotan tersebut dalam mengawal kejujuran UN 2010 ini. Siapapun insyallah akan merasakan hal yang sama dengan saya di momen2 seperti ini.

Dikala tahu benar posisi kemampuan siswa, dan seberapa besar kans kelulusan yang membuat guru berdebar – debar, tentu insting untuk mencari aman dari tudingan pendiskreditan akan menggoda iman idealisme saya. Apalagi ternyata masih ada peluang untuk bersedia menciderai idealisme itu. Selanjutnya hanya saya, dan Tuhanlah yang tahu seberapa kuatnya saya memegang idealisme sebagai seorang guru.

Intinya, seharusnya 100% kelulusan suatu sekolah mestinya tidak dijadikan label karakter keberhasilan seuatu sekolah. Mestinya kita ( atau paling tidak saya ) lebih simpatik dengan sekolah yang dengan besar hati menerima kelulusan siswa yang tidak 100% tapi dengan penuh kejujuran ketimbang 100% namun dengan kecurangan – kecurangan.

Penulis: Saiful ghozi

Lulus sarjana Pend Matematika Univ. Neg. Malang thn 2005. Mengajar di berbagai sekolah CSR perusahaan; PT SBK Melawi Kalbar, PT Kertas Nusantara Berau Kaltim, PT Chevron dan Total E&P Balikpapan. Setelah lulus pascasarjana di Unmul Samarinda thn 2013, kini menjadi dosen tetap di Politeknik Negeri Balikpapan Kaltim

2 thoughts on “Dikotomi berhasil dan tidak berhasil dalam UN 2010

  1. Kadang saya juga berfikir, pola pendidikan kita sampai dengan saat ini kebanyakan hanya berkutat pada angka penilaian bukan pada esensi mata pelajaran. Sehingga kelulusan siswa hanya ditentukan dalam waktu 3 hari saat UN. Dan bisa dipahami jika pada akhirnya banyak sekolah menerapkan target yang cenderung kurang logis, yaitu harus lulus 100%, jika tidak berarti gagal seperti yang mas saiful tulis.
    Jika ada 100 siswa yang UN, kemudian yang tidak lulus 50%, saya juga tidak berani mengatakan sekolah tersebut gagal, karena lulus atau tidaknya sianak juga bukan 100% tanggung jawab sekolah, juga menjadi tanggung jawab orang tua dirumah.

    • Persis p aldy.., tidak semua orangtua punya cara pandang yang kritis, partisipatif dan terbuka dengan tuntutan tersebut.
      Kelulusan 100% seyogyanya tidak dijadikan label atau grade kualitas sekolah. Apalagi untuk sekolah menengah. Tahun 2006 kellusan anak SMA Melawi 38 %.
      Justru saya salut dengan hasul tersebut karena benar2 menggambarkan realitas yang ada. Karena Melawi tantangan nya adalah jauh dari jangkauan pengembangan2 fasilitas dan SDM. Saya salut dengan kelegowoan hasil tersebut. Masak sih curang ko’ cuman menghasilkan 38% kelulusan.
      Tp di daerah dimana saya menjadi guru skrg…, jarang sekolah yang tidak 100% kelulusannya. Meskipun itu seklah2 pedalaman…
      tentu hasil yg justru kurang logis bagi yang kritiis.

      Trimkasih p aldy menyempatkan diri mengomentari tema ini…

Tinggalkan Balasan ke Saiful ghozi Batalkan balasan